[PDF][PDF] Disonansi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi Hukum Indonesia: Aceh sebagai Studi Kasus
HMA Latief, H Mubarrak, B Ali - Annual International Conference on …, 2012 - academia.edu
HMA Latief, H Mubarrak, B Ali
Annual International Conference on Islamic Studies XII, Surabaya, 2012•academia.eduSekalipun telah diberi kewenangan dan otonomi luas di bidang hukum Islam pasca
pemberlakuan Undangundang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006, syariat Islam di
Aceh dalam kurun enam tahun penerapan UUPA masih menampakkan gejala anomali.
Pada satu sisi, wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun syariat
(peraturan setingkat Perda/Peraturan Daerah) diperluas dari sebelumnya hanya mengurusi
wilayah ibadah, ahwal syakhsiyah dan muamalah, merambah ke bidang hukum jinayat …
pemberlakuan Undangundang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006, syariat Islam di
Aceh dalam kurun enam tahun penerapan UUPA masih menampakkan gejala anomali.
Pada satu sisi, wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun syariat
(peraturan setingkat Perda/Peraturan Daerah) diperluas dari sebelumnya hanya mengurusi
wilayah ibadah, ahwal syakhsiyah dan muamalah, merambah ke bidang hukum jinayat …
Sekalipun telah diberi kewenangan dan otonomi luas di bidang hukum Islam pasca pemberlakuan Undangundang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006, syariat Islam di Aceh dalam kurun enam tahun penerapan UUPA masih menampakkan gejala anomali. Pada satu sisi, wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun syariat (peraturan setingkat Perda/Peraturan Daerah) diperluas dari sebelumnya hanya mengurusi wilayah ibadah, ahwal syakhsiyah dan muamalah, merambah ke bidang hukum jinayat (pidana). Tak hanya itu, muatan sanksi hukuman bagi qanun jinayat juga dikecualikan dari ketentuan umum sanksi ('uqubat) yang dapat dimuat dalam qanun asalkan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangundangan lain. 416 Namun pada sisi lain, kewenangan dan jurisdiksi terbatas ini menghadapi persoalan besar manakala proses inkorporasi hukum Islam dalam qanun syariat Aceh juga harus dibangun dalam bingkai (frame) dan lingkup sistem hukum nasional, sehingga sedikit banyak—qanun syariat itu nantinya—harus mengalami berbagai “penyesuaian” dengan realitas hukum yang berlaku di Indonesia. 417
Tuntutan penyesuaian ini pernah dikritisi pula oleh peneliti senior hukum Islam asal Australia, Hooker, yang menyatakan bahwa dalam proses legislasi syariat Islam di Aceh menemui banyak kendala dan hambatan di mana hukum syariat yang ingin diterapkan mestilah “sejalan dan konsisten” dengan sistem hukum nasional, sekalipun pada kenyataannya, penyebutan kata “syariat” dan “konsisten” tidak pernah diberikan pengertian yang definitif. 418 Di tengah kekaburan itu, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Jakarta, menambah lagi keluasan otonomi bagi Aceh di bidang hukum Islam untuk melegislasi qanun syariat di bidang jinayat. Menjadi pertanyaan kemudian, sejauh mana hukum syariat Islam mengenai pidana itu dimungkinkan terintegrasi dalam qanun dengan tetap melihat kedudukan dan jurisdiksi qanun Aceh dalam hierarki perundang undangan di Indonesia?
academia.edu
以上显示的是最相近的搜索结果。 查看全部搜索结果